"

Rabu, 02 November 2016

Gagal Paham beleid Kantor Maya Haram

BY  on 4 JANUARI 2016 • 0 )

imagesPelaku usaha tak boleh menggunakan virtual office.
Buat Anda yang sedang merintis usaha, memiliki kantor jelas suatu keharusan. Saat ini, ada pilihan lain yang lebih murah daripada menyewa kantor sungguhan: menyewa virtual office alias kantor maya. Dengan biaya yang lebih murah, pebisnis bisa memiliki fasilitas laksanan kantor sungguhan. Cuma, sekarang pelaku usaha yang memiliki domsili di kantor maya sekarang resah.
Sebabnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melarang penggunaan virtual office mulai tahun depan. Nantinya, perusahaan rintisan atau startup ataupun UKM, dilarang memakai kantor maya dan ruang bersama (co-working space) sebagai tempat domisili usaha mereka. Tahun depan, pelaku usaha tak bisa lagi memakai alamat kantor maya. Kesempatan menggunakan virtual office sebagai alamat atau domisili usaha, dibatasi hanya hingga 31 Desember 2015.

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Jakarta No. 41/SE/Tahun 2015 tangga 2 November 2015, tentang Surat Keterangan Domisili Badan Usaha yang Berkantor Virtual. Dalam SE tersebut, izin lanjutan bagi mereka yang berkantor virtual, hanya berupa Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
Itu pun batas waktunya hanya sampai 31 Desember 2015. Untuk selanjutnya, BPTSP masih menunggu ketentuan atau kebijakan Menteri Perdagangan yang mengatur penerbitan SIUP dan TDP pada badan usaha yang berkantor virtual.
Kepala BPTSP DKI Jakarta Edy Junaedi mengungkapkan, surat ederan ini dibuat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kantor maya sebagai wadah kegiatan usaha dan transaksi bisnis fiktif. Soalnya, tak sedikit kejadian adanya perusahaan yang ikut dalam tender lelang besar, namun berkantor virtual. “Karena izin usaha itu yang mengeluarkan kami, nanti kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, pasti kami yang disalahkan,” kata Edy.
Saar hanya berperan sebagai pelanjut kebijakan, sebelum merilis beleid tersebut, BPTSP DKI sudah meminta petunjuk ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) selaku regulator, untuk mengaskan apakah boleh memberikan izin kepada pengusaha yang domisilinya kantor virtual. Menjawab surat dari BPTSP ini, Direktur Bina Usaha Perdagangan Kemendag Fetnayeti menyatakan, pebisnis yang menggunakan virtual office sebagai domisili usaha, tidak bisa mendapatkan SIUP dan TDP. “Bagaimana cara kami mengecek keberadaannya jika lokasi kantornya itu virtual,” ujar Fetna.
Pemikiran Fetna, virtual office adalah kantor yang berada di dunia maya. Sehingga, hal ini menimbulkan kesulitan dalam berhubungan bisnis seperti surat menyurat, pengecekan lokasi, dan lain-lain.
Ia menuturkan, dari temuan BPTSP, ada satu alamat kantor yang luasnya 20 meter persegi (m2), namun mengelola hinga ratusan kantor. “Alamatnya satu, tapi kantor yang pakai alamat itu bisa 300-an. Apa ini masuk akal? Ini yang jadi concern kami untuk menolak permohonan izin usaha dengan domisili kantor virtual,” katanya.
Fetnayeti mengakui, Kemendag belum pernah bertemu dengan para pelaku bisnis virtual officemaupun pelaku usaha yang memiliki domisili di kantor virtual. Fetna bilang, Kemendag masih melakukan identifikasi terhadap persoalan ini. Ia juga tidak bisa menjanjikan apakah akan dibuatkan peraturan baru dan khusus tentang virtual office.
Yang jelas, direktoratnya telah menyampaikan ke seluruh BPTSP di seluruh Indonesia bahwa SIUP dan TDP bagi pelaku usaha yang berdomisili kantor virtual tidak bisa diterbitkan. “Saat ini kami pakai aturan-raturan perdagangan yang sudah ada saja. Kami masih belum bisa memastikan apakah akan dibuat aturan khususnya atau tidak. Untuk kedepannya saya masih belum bisa bilang, masih diidentifikasi persoalannya,” ujarnya.
Karena pemerintah pusat tidak mengeluarkan aturan soal badan usaha yang berkantor virtual, BPTSP DKI Jakarta pun berinisiatif untuk membuat aturan sebagai pegangan dalam memberikan izin usaha, dengan mendasarkan pada surat Kemendag. BPTSP DKI menilai, pihaknya harus mengeluarkan aturan ini karena jumlah virtual office di Jakarta sudah sangat banyak.
Nanti tahun depan, baru BPTSP akan mengeluarkan aturan baru yang menjadi pegangan dalam memberikan izin. “Sebab, kami sadar bahwa banyak pelaku usaha yang membutuhkan kepastian akan hal ini. Setiap hari pasti ada saja yang meminta izin usaha tapi kantornya virtual,” katanya. Menurut Edy, pihaknya juga mengundang pelaku usaha untuk memberikan masukan karena pembahasan beleid baru akan dilakukan bersama-sama dengan Perhimpunan Jasa Kantor Bersama Indonesia (Perjakbi).
Meski dijanjikan dengan bakal adanya aturan soal virtual office tahun depan, SE terbaru ini tak pelak membuat bingung pelaku usaha. Ketua Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI) Bimo Prasetio bilang, pengusaha UMKM dan startup banyak yang bingung dengan kelanjutan usaha mereka pasca akhir Desember nanti. Soalnya, hingga saat ini, masih banyak pelaku usaha kecil yang meminta izin usaha dengan domisili berupa kantor bersama atau virtual office.
Ada dua alasan utama virtual office menjadi pilihan. Pertama, karena biayanya yang lebih murah. Kedua, peraturan Pemprov DKI soal aturan zona tata ruang di DKI Jakarta, domisili lokasi usaha, area perdagangan, atau lokasi untuk kegiatan komersil dan bisnis tidak boleh berada di zona perumahan dan pemukiman. Istilah untuk zona khusus untuk usaha ini adalah zona ungu. Singkatnya, pelaku usaha harus memiliki kantor yang berada di lokasi zona ungu.
Masalahny,a biaya sewa di zona ungu tak murah. Untuk sewa ruangan kantor maupun ruko di zona ungu saja, membuat para pengusaha harus merogoh kocek yang sangat dalam. Dalam catatan Perjakbi, sewa kantor per meter di zona ungu Jakarta minimal Rp 400.000 per m2 per bulannya. Artinya, jika ingin sewa 10 m2, maka pengusaha harus merogoh kocek Rp 4 juta per bulan atau Rp 56 juta per tahun. Ini jauh lebih besar dibandingkan dengan ongkos sewa virtual office yang kisarannya mulai Rp 6 juta per tahun, tergantung paket layanan yang dipilih.
Bagi pengusaha, menyewa virtual office sangat menguntungkan karena seluruh pekerjan dan fungsi administratif seperti surat menyurat, resepsionis, dan lainnya dikerjakan pihak lain dengan biaya terjangkau. Apalagi, biasanya pelaku usaha rintisan tak memiliki banyak karyawan. Menurut Bimo, saat ini sudah ada sekitar 50 penyedia jasa virtual office yang terdaftar di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan larangan memiliki domisili usaha berbasis virtual office, pebisnis jelas kesulitan. “Padahal kita perlu bersaing menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).” Ujar dia. “Bagaimana mau bersaing, jika punya izin usaha saja sulit.”
Ketua Perjakbi Anggawira menilai, ada salah persepsi Kemendag mengenai definisi kantor virtual. Sebab, kantor virtual bukanlah kantor yang hanya ada di dunia maya. Kantor virtual justru memiliki fisik, bisa dilihat dan lokasinya ada. Namun, kantor virtual memang berisi lebih dari satu perusahaan.
Maka itu, Angga meminta pemerintah untuk mau duduk bersama-sama membahas tentangvirtual office. Perjakbi sendiri sudah duduk dengan BPTSP DKI Jakarta membahas masalah SE kantor virtual. Menurut Angga, Kamis (17/12) lalu, pihaknya sudah bertemu dengan BPTSP DKI.
Ada banyak hal yang dibicarakan dalam pertemuan ini. Hal-hal penting yang dibahas di antaranya adalah penyamaan persepsi mengenai definisi virtual office. “Kami juga membahas tentang batasan-batasan mengenai virtual office, seperti skala usaha bagaimana yang boleh memakai kantor virtual dan yang tidak boleh, juga jenis-jenis usahanya,” kata Angga.
Ia mengaku belum tahu sampai sejauh mana penjelasan yang diberikannya akan diakomodir oleh BPTSP. Perjakbi juga belum bisa membicarakan hal tersebut bersama dengan perwakilan Kemendag secara resmi. Angga mengaku baru menyampaikan keberatannya secara lisan ke Menteri Perdagangan Thomas Lembong di suatu forum. Menurut dia, Mendag justru mendukung adanya virtual office karena mendorong industri kreatif, UMKM, dan startup untuk tumbuh.
Secara resmi, Perjakbi telah menyampaikan surat keberatan yang berisi penjelasan secara hukum terhadap pelarangan virtual office ke Kemendag. Perjakbi meminta Kemendag mengatur soalvirtual office, bukan malah melarang.
Ia menyarankan pemerintah belajar dari negara lain seperti Singapura dan Hong Kong. Di kedua negara itu, perkembangan virtual office sangat pesar karena membantu pelaku usaha kecil. Apalagi di era digital ini, virtual office merupakan pilihan yang masuk akal.
Kalau kantor virtual dikhawatirkan akan dimanfaatkan wadah kegiatan usaha dan transaksi bisnis fiktif, Perjakbi mengusulkan akreditasi terhadap penyelenggara virtual office. Sementara soal keikutsertaan tender pengadaan barang atau jasa bagi usaha yang domisilinya di virtual office, Perjakbi menyarankan kebijakan yang bersifat sektoral.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Haris Munandar, virtual office sebetulnya sudah lama ada di Indonesia. Biasanya sektor bisnis yang menyewa tempat di virtual office adalah sektor di bidang jasa. Contohnya, kontraktor atau konsultan. Tapi, dengan maraknya fungsi administratif berdasar teknologi informasi, penggunavirtual office sekarang ini tidak terbatas pada sektor jasa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar